Punggung dan pundakku rasanya
seperti diberi pemberat berkilo-kilo. Lelah dan penat belum lagi hilang saat
kurebahkan tubuh di atas kasur dengan seprai putih milikku di kamar kos yang
sudah kutempati selama 3 tahun ini. Namun, aku sudah tak sabar ingin menuliskan
apa yang kualami hari ini bersama anak-anak pemberani dari matahari (Bima
Kalantaka) dan teman-teman relawan pengajar.
Pasar Cepogo, Minggu, 3 Juni 2012
pukul 09.14 WIB
Saya beserta teman-teman relawan
pengajar, Arif dan Yasinta, baru sampai di Pasar Cepogo yang langsung menyambut
kami dengan aroma khas daun adas. Aroma yang selalu membuatku merindukan Selo
lebih dibandingkan desa tempat kelahiranku sendiri di Malang. Tak lagi kami
hiraukan jalan yang naik turun dan berkelok-kelok, karena kami ingin segera
bertemu dengan anak-anak, kerinduan yang kurasa makin besar kian hari kepada
anak-anak ini.
Tarubatang, Surodadi, Pukul 09.26
WIB
Kami bertiga sampai di rumah Mas
Supri, salah satu relawan lokal Sahabat Merah Putih, yang rumahnya kami jadikan
tempat singgah sambil menunggu relawan pengajar yang lain. Rumahnya sangat
sepi, tidak ada orang di rumah karena hari masih pagi dan empunya rumah masih
di ladang atau sedang mencari rumput untuk ternak mereka. 15 menit kemudian,
Mbak Sugeng, salah satu relawan lokal Sahabat Merah Putih dari Dusun Lencoh
datang, disusul Mas Ferli 20 menit kemudian.
Pukul 11.17 WIB
Setelah persiapan dan technical meeting untuk agenda hari ini
selesai, kami pun segera beranjak menuju Ngagrong. Seperti minggu lalu, pick up milik Mas Supri sedang digunakan
untuk mengangkut sayuran ke pasar Cepogo. Padahal hari itu barang bawaan kami
lumayan banyak dan berat. Sehingga, kami harus rela naik motor menuju Sanggar
Bima Kalantaka yang boleh dibilang medannya adalah medan yang cukup berat untuk
sebuah motor, apalagi jika ditumpangi oleh 2 orang. Lagi-lagi dengan bermodal
nekad aku dan teman-teman berangkat menuju TKP. Dan tragedi minggu lalu harus
terulang kembali. Aku dan Yasinta harus rela jalan kaki sambil mendorong motor
karena motor kami tidak kuat di jalan yang tegaknya hampir 30°.
Walaupun nafas kami hampir habis, karena flu dan sedikitnya oksigen di tempat
ini, kami tetap naik perlahan tapi pasti. Dengan dibantu oleh teman-teman yang
lain, akhirnya motor kami sampai juga di tempat tujuan dengan selamat. Pak Pur,
pemilik rumah yang merelakan rumahnya untuk sanggar, menjemput kami di
‘gerbang’, karena beliau khawatir akan kondisi kami yang datang dalam keadaan ngos-ngosan, lemas, dan sedikit pusing
karena kekurangan oksigen.
Ngagrong, pukul 11.39 WIB
Gembira sekali melihat anak-anak
sudah berkumpul dengan jumlah yang cukup banyak hari ini. Terhitung ada 34 anak
yang hadir hari ini. Mereka sangat antusias, tetapi juga malu-malu ketika harus
maju ke depan untuk unjuk aksi di depan teman-temannya. Agenda kami hari ini
adalah menanam bambu Cina pada media hidrogel. Setelah diberi instruksi cara
membuatnya, mereka langsung berhamburan, berebut untuk mendapatkan hidrogel dan
tanaman dari teman-teman relawan pengajar. Melihat mereka sibuk berlarian ke
sana kemari, bertanya, dan minta tolong, membuat kami semakin bersemangat
menunjukkan semua teknik yang kami miliki untuk membuat hiasan hidrogel mereka
terlihat cantik dan menarik. Dan kami pun mengadakan sayembara, barang siapa
yang bisa merawat hidrogelnya dengan baik akan mendapatkan reward, semoga saja bisa melatih anak-anak untuk bertanggung jawab.
Setelah hidrogel mereka siap, kami abadikan karya mereka dengan berfoto-foto,
yang tidak dinyana adalah bahwa anak-anak ini juga narsis. Mereka sangat senang sekali difoto, sehingga gambar yang
kami ambil pun sangat memuaskan.
Setelah agenda pembuatan hiasan
dengan hidrogel selesai, kami belajar Bahasa Inggris. Kami belajar mengenal
warna-warna dalam Bahasa Inggris dan belajar membaca abjad dalam Bahasa Inggris
yang dibimbing oleh Yasinta. Anak-anak pun dengan cepat menangkap apa yang kami
ajarkan.
Hal lain yang membuatku lebih
bahagia lagi, hari ini Wanto datang, setelah minggu lalu ia tidak hadir. Anak ajaibku
yang diberi keistimewaan oleh Tuhan ini sudah mulai bisa diajak berkomunikasi.
Mungkin karena kami sudah bertemu untuk yang kesekian kalinya. Ia pun kami
bimbing untuk membuat karya yang sama dengan teman-temannya, tentunya dengan
bantuan teman-temannya. Setelah karyanya jadi, kami pun mulai membangun
kepercayaan dirinya dengan berpose di depan kamera kemudian kami suruh ia untuk
maju ke depan di hadapan teman-temannya. Mas Supri, yang hari itu ikut hadir di
sanggar, dengan penuh kesabaran dan kebapakan, mencoba melatih Wanto menulis.
Dan Wanto pun dengan sangat senang menerima ajakan Mas Supri untuk menulis. Air
mataku menetes perlahan, yang segera kuusap dengan telapak tangan, melihat Wanto
yang terlihat sangat bersemangat sekali untuk menulis. 1 lembar kertas ukuran
A4 penuh dengan tulisan tangannya. Tangannya yang kaku, sudah mulai lemas. Ia
menunjukkan kemampuannya kepada kami. Kemampuannya menyenangkan hati orang lain,
membuat orang lain tersenyum dengan gurauan dan wajahnya yang polos. Kami tidak
membedakan perlakuan kepada anak-anak, terutama kepada Wanto, tetapi mungkin
perlu porsi lebih untuk anak-anak seperti Wanto.
Pukul 14.49 WIB
Merbabu mulai gelap, awan hitam
mulai menggantung di kolong-kolong langit, dan menutup sebagian besar
bukit-bukit yang menyusun Gunung Merbabu ini. Kami meninggalkan sanggar dengan
perasaan gembira dan puas. Rasa puas yang tak bisa diukur dan diungkapkan
dengan kata-kata. Berbagi itu memang selalu membuat siapa saja yang lapar jadi
kenyang seketika.