Dingin menusuk dan angin
sepoi-sepoi semilir lembab, khas udara gunung, menemani perjalanan kami menuju
Dusun Ngagrong, Kelurahan Ngagrong, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali.
Mengendarai mobil pick up milik Supri,
salah satu relawan lokal, kami meluncur melewati jalan berliku dan naik turun serta
mengguncang tubuh kami yang menggigil. Indahnya pemandangan lereng Merbabu dan guyonan-guyonan di atas pick up tidak mampu menghilangkan rasa
dingin yang membalut tubuhku, tetapi ada kehangatan yang mengalir di sekujur
tubuhku. Kehangatan yang bukan berasal dari balutan jaket tebalku dan bukan
berasal dari pelukan sahabat-sahabatku. Tetapi, kehangatan yang muncul saat
kebahagiaan membuncah dalam diriku.
Hari itu, Minggu, 8 April
2012, hujan turun dengan derasnya begitu kami menginjakkan kaki di Dusun
Ngagrong. Dusun ini jauh dari keramaian kota, jauh dari megahnya
bangunan-bangunan mewah, dan jauh dari polusi-polusi udara yang menyesakkan
dada. Letaknya yang berada di ketinggian sekitar 2.400 m
dpl atau kurang lebih 800 m dari puncak Gunung Merbabu membuat dusun ini sangat
sulit ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Sembari berteduh dan
menghangatkan tubuh di rumah Mas Joko, salah satu warga Ngagrong, kami menunggu
rombongan sahabat-sahabat kami yang datang dari Jogja untuk misi yang sama. Tak
berapa lama, datanglah 2 sahabat UIN Jogja, Lily dan Imus, dalam kondisi basah
kuyup. Dengan gelisah, kami masih menunggu sahabat-sahabat yang lain, kami
membayangkan jalan makadam menanjak dengan
kemiringan sampai 80 derajat yang tentu semakin licin oleh siraman air hujan. Apalagi,
Lily mengabari rombongan Jogja datang dengan mengendarai sepeda motor.
Belum sempat wajah ini bersua
dengan sahabat-sahabat kami yang sedang berjuang naik ke dusun ini, Pak Pur,
wakil ketua RT Dusun Ngagrong sekaligus pemilik rumah yang akan kami kunjungi,
datang membawa setumpuk payung. Dengan penuh semangat, beliau menyampaikan
bahwa anak-anak sudah menunggu 2 jam yang lalu. Berteduh di bawah payung-payung
yang dibawakan Pak Pur, kami meluncur ke rumah limasan, rumah tradisional
daerah pegunungan warga Boyolali. Perlahan aku melangkah diiringi para
sahabatku, menapak selangkah demi selangkah, dengan keberanian yang kupaksakan,
karena jalan berbatu menurun tajam ditambah lagi siraman hujan deras dan kabut membuatnya
semakin menyeramkan.
Memasuki rumah Pak Pur yang sudah
diubah tata letaknya, rasa takut, kedinginan, dan gelisah menunggu
sahabat-sahabat sirna seketika. Melihat wajah-wajah mungil, lucu, dan lugu-lugu
membuat hatiku sedikit berdesir. Jika aku menjadi mereka, masih sanggupkan aku
berwajah ceria, sumringah, tanpa
beban? Anak-anak, selalu penuh dengan kegembiraan.
Anak-anak gunung yang kuat
ini berkumpul di rumah Pak Pur 2 jam yang lalu, dengan tetap setia menanti
kedatangan kami yang banyak molor
karena hujan turun tiba-tiba. Kehausan mereka akan suasana belajar yang
kondusif tampak di wajah-wajah mereka yang bersemangat dan antusias.
Bergabung dalam komunitas
relawan Sahabat Merah Putih 14 bulan yang lalu membuat jiwaku terpanggil untuk
terus mengabdi di daerah Selo dan sekitarnya. Kami tidak hanya membantu
masyarakat sekitar Merapi dan Merbabu ketika ada bencana, tetapi kami membantu
masyarakat setiap saat dibutuhkan, baik infrastruktur maupun sosial. Dan kali
ini, jiwaku terpanggil untuk membantu anak-anak di Dusun Ngagrong dengan
membuat sebuah sanggar belajar atas nama Sahabat Merah Putih. Mengadopsi konsep
berpikir Indonesia Mengajar, yaitu mengabdi di daerah pelosok dalam menebarkan
benih-benih positif dan optimisme kepada anak-anak yang mungkin mereka tidak
pernah berpikir atau memiliki cita-cita seperti anak-anak sebagian di daerah
perkotaan. Aku ditemani sahabat-sahabat relawan lokal yang hebat, gigih,
tangguh, ikhlas, dan menyenangkan aku mencoba membangun serpihan-serpihan
pendidikan yang terkoyak oleh ketiadaan sekolah di wilayah tersebut. Aku dan
teman-teman memang belum mampu mendirikan sebuah sekolah di dusun tersebut,
tetapi setidaknya kami memberi dorongan semangat belajar dan mengajak anak-anak
untuk mulai memimpikan cita-cita mereka dan kemudian berusaha mewujudkannya.
Baru saja berakhir hujan disore ini,
Menyisakan keajaiban kilauan indahnya pelangi
(Ipang – Sahabat Kecil)
Dan memang, hujan baru saja reda
ketika acara kami mulai. Sangat pas sekali dengan lagu yang kami putar di dalam
rumah ini. Anak-anak sangat aktif terlibat dalam setiap permainan yang kami
sajikan, mulai dari perkenalan sampai pada battle
antar kelompok untuk menciptakan yel-yel
dan masing-masing kelompok menyampaikan cita-cita mereka. Nama kelompoknya pun
unik, sesuai hasil bumi kampung Ngagrong. Spontan, lahirlah nama kelompok
Wortel, Bayam dan yang membuat kami terpingkal-pingkal adalah nama kelompok
“KOL KEMBANG”.
Memang, tak perlu banyak “mikir” jadi anak-anak. Spontan, ngawur,
tapi itulah yang menjadikannya seru.
Kami ingin anak-anak gunung
ini menjadi anak yang tangguh dan tahan banting, dengan melatih keberanian
mereka untuk mengungkapkan pendapat, konsentrasi, kreatif, dan memiliki mind set modern, bukan anak gunung yang udik dan ndeso. Lagi-lagi hatiku berdesir melihat energi anak-anak gunung
ini. Apakah anak-anak kota akan bersemangat seperti anak-anak gunung ini jika
aku dan sahabat-sahabatku membuat acara seperti ini? Ada haru yang tak bisa ku
ungkapkan dengan kata-kata.
Tak pernah terlewatkan dan tetap mengaguminya,
kesempatan seperti ini tak akan bisa dibeli
Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa
mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna sayang untuk
mengakhirinya
(Ipang – Sahabat Kecil)
Ahhhhh… Kulepas jaket tebalku
dan kunaikkan celanaku setinggi lutut, karena aku mulai gerah. Tubuhku membakar
semua energi dan kebahagiaan di dalam diriku, sehingga rasanya aku tidak
membutuhkan jaket atau apapun untuk membalut tubuh di dinginnya udara Gunung Merbabu.
Aku terlalu bersemangat, terlalu bergairah, melihat semangat anak-anak gunung
ini. Hangat rasanya berada di sekeliling anak-anak gunung ini, mereka anak-anak
yang menyenangkan, ramah, dan saya rasa mereka hebat, sangat hebat.
Ketika aku membayangkan diriku
sendiri menjadi anak-anak gunung ini, mungkin aku tidak akan pernah mau pergi
ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 10 km dari dusun mereka. Dan aku akan
terus mengatakan mereka hebat, karena mereka tetap pergi ke sekolah walaupun
harus berjalan kaki melalui jalan berbatu, dan ditemani dengan hujan serta
teriknya matahari khas pegunungan. Di sinilah peran kami membangkitkan semangat
mereka, menciptakan mimpi-mimpi yang mungkin selama ini mereka pendam dan
mencoba mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan
Takkan menyerah untuk hadapi hingga sedih tak
mau datang lagi
(Ipang – Sahabat Kecil)
Tidak banyak anak-anak yang
hadir hari itu, hanya 25 anak. Padahal menurut informasi yang kami dapatkan ada
sekitar 50 anak usia sekolah dasar di Dusun Ngagrong. Tapi jumlah itu sudah
cukup bagiku untuk sekedar tahu anak-anak seperti apa yang sedang kuhadapi. Dan
aku bisa mengukur sebesar apa semangat mereka untuk menjadi anak yang memiliki
nilai lebih.
Aku lebih senang menyebut mereka
dengan sebutan “anak-anakku”, agar aku memiliki rasa memiliki dan tanggung
jawab atas mereka. Di hari pertama pertemuan ini, aku mencoba mengenal dan
memahami satu per satu anak-anakku. Nanda, anak laki-laki sedikit pemberontak,
cerdas, pemberani, tapi sedikit temperamental. Dita, anak laki-laki yang murah
senyum dan ramah. Sulis, si mungil yang bermimpi jadi pembalap. Dan satu lagi
anakku yang spesial, Wanto.
Wanto berusia 14 tahun dan
menderita keterbelakangan mental. Namun, tampak di wajahnya semangat belajar
yang luar biasa. Ada keinginan kuat dalam dirinya untuk bisa diterima di
lingkungannya. Tapi lingkungannya kurang memahami bagaimana seharusnya
menyikapi anak seperti Wanto, sehingga Wanto menjadi minder. Aku berlari ke dapur untuk meminta piring kepada empunya
rumah. Tiba-tiba ada seorang ibu yang mendekatiku dan menyapaku dengan sebutan
“Ibu” kemudian bercerita tentang anaknya menderita keterbelakangan mental, tapi
tidak menyebutkan nama anaknya. Pikiranku langsung tertuju pada Wanto. Aku hanya
mengatakan akan mencoba sebisa dan semampuku membantu Wanto. Dan aku akan
belajar.
Ke-25 anak tersebut kami bagi
menjadi tiga kelompok. Masing-masing kami beri cutter, gunting, stirofoam,
kertas, lem, kuas, dan cat air. Dengan benda-benda yang kami bagikan tersebut
kami arahkan mereka untuk membuat tulisan SANGGAR
BELAJAR SAHABAT MERAH PUTIH “BIMA KALANTAKA”, untuk kemudian menempelkannya
pada kertas linen hitam yang kami tempelkan di dinding rumah Pak Pur.
Kami biarkan anak-anak
berkreasi dan bekerja sama dengan anggota kelompoknya untuk menyelesaikan tugas
yang kami berikan. Kembali hatiku berdesir, bahagia, dan kehangatan kembali
menjalari sekujur tubuhku, saat melihat anak-anak gunung itu menempel
potongan-potongan huruf pada kertas linen hitam. Aku seperti melihat anak-anak
gunung itu sedang merangkai, kemudian menempelkan harapan dan mimpi mereka di
sini, di sanggar belajar ini.
Dan rasa haru menghujani
hatiku ketika semua potongan-potongan huruf itu sudah tertempel menjadi sebuah
kalimat SANGGAR BELAJAR SAHABAT MERAH
PUTIH “BIMA KALANTAKA”. Salah satu mimpi terbesarku sudah terwujud,
walaupun baru seujung kuku. Membantu bangsa ini menjalankan amanah
“Mencerdaskan kehidupan bangsa”, membagikan ilmu yang kumiliki, dan membagikan
pengalaman yang pernah kudapatkan untuk memotivasi mereka meraih apa yang
mereka cita-citakan. Menyadarkan mereka untuk mencintai tempat mereka hidup
tanpa mengabaikan bagaimana dunia luar. Seperti Kata Pak Anis Baswedan “Anak-anak Indonesia membutuhkan kompetensi
kelas dunia untuk bersaing di lingkungan global. Tetapi, kompetensi kelas dunia
saja tak cukup. Anak-anak muda Indonesia harus punya pemahaman empatik yang
mendalam seperti akar rumput meresapi tanah tempatnya hidup”.
Tak lama, sahabat-sahabat
yang membuat kami gelisah mulai berdatangan dalam kondisi basah kuyup. Pak
Faishol, Pak Terry, Bu Terry, Senja, Lanang, Muslih, dan beberapa sahabat
lainnya datang menyempurnakan kebahagiaanku. Ternyata respon datang dari banyak
pihak. Aku yang mulanya takut menjalani ini sendirian, berubah pikiran. Aku
tidak sendirian membangun semua ini, ada banyak orang-orang hebat dan penyayang
yang akan terus membantu dan mendampingiku. Ada sahabat-sahabat dalam satu
merah putih yang akan terus menemaniku membangun mimpi-mimpiku di negeri di
atas kabut ini.
Bantuan keuangan, moral, dan
buku-buku juga mengalir dari berbagai pihak. Pak Terry, Pak Faishol, dan Mas
Dyke dari Kota Malang menyumbangkan sejumlah uang untuk operasional sanggar
kami. Yayasan Amal Insani yang diwakili oleh Mas Anggoro juga menyumbangkan
sejumlah buku dan banner, jauh-jauh
dari Jakarta membawa buku-buku dalam bus menuju Solo dan kemudian mengangkutnya
ke Dusun Ngagrong menggunakan motor, dan ini dilakukannya tanpa istirahat.
Betapa hatiku banjir saat
itu, semua itu seperti dorongan semangat bagiku untuk terus mempertahankan
kemajuan sanggar belajar ini. Walaupun banyak rintangan menghadang. Karena
cita-citaku tidak berhenti hanya di sini. Masih ada misi yang sama bersama
dengan sahabat-sahabat merah putihku untuk melakukannya di dusun lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar