Sabtu, 12 Mei 2012

BIMA KALANTAKA, LEHER GUNUNG MERBABU


Dingin menusuk dan angin sepoi-sepoi semilir lembab, khas udara gunung, menemani perjalanan kami menuju Dusun Ngagrong, Kelurahan Ngagrong, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali. Mengendarai mobil pick up milik Supri, salah satu relawan lokal, kami meluncur melewati jalan berliku dan naik turun serta mengguncang tubuh kami yang menggigil. Indahnya pemandangan lereng Merbabu dan guyonan-guyonan di atas pick up tidak mampu menghilangkan rasa dingin yang membalut tubuhku, tetapi ada kehangatan yang mengalir di sekujur tubuhku. Kehangatan yang bukan berasal dari balutan jaket tebalku dan bukan berasal dari pelukan sahabat-sahabatku. Tetapi, kehangatan yang muncul saat kebahagiaan membuncah dalam diriku.
Hari itu, Minggu, 8 April 2012, hujan turun dengan derasnya begitu kami menginjakkan kaki di Dusun Ngagrong. Dusun ini jauh dari keramaian kota, jauh dari megahnya bangunan-bangunan mewah, dan jauh dari polusi-polusi udara yang menyesakkan dada. Letaknya yang berada di ketinggian sekitar 2.400 m dpl atau kurang lebih 800 m dari puncak Gunung Merbabu membuat dusun ini sangat sulit ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Sembari berteduh dan menghangatkan tubuh di rumah Mas Joko, salah satu warga Ngagrong, kami menunggu rombongan sahabat-sahabat kami yang datang dari Jogja untuk misi yang sama. Tak berapa lama, datanglah 2 sahabat UIN Jogja, Lily dan Imus, dalam kondisi basah kuyup. Dengan gelisah, kami masih menunggu sahabat-sahabat yang lain, kami membayangkan jalan makadam menanjak dengan kemiringan sampai 80 derajat yang tentu semakin licin oleh siraman air hujan. Apalagi, Lily mengabari rombongan Jogja datang dengan mengendarai sepeda motor.
Belum sempat wajah ini bersua dengan sahabat-sahabat kami yang sedang berjuang naik ke dusun ini, Pak Pur, wakil ketua RT Dusun Ngagrong sekaligus pemilik rumah yang akan kami kunjungi, datang membawa setumpuk payung. Dengan penuh semangat, beliau menyampaikan bahwa anak-anak sudah menunggu 2 jam yang lalu. Berteduh di bawah payung-payung yang dibawakan Pak Pur, kami meluncur ke rumah limasan, rumah tradisional daerah pegunungan warga Boyolali. Perlahan aku melangkah diiringi para sahabatku, menapak selangkah demi selangkah, dengan keberanian yang kupaksakan, karena jalan berbatu menurun tajam ditambah lagi siraman hujan deras dan kabut membuatnya semakin menyeramkan.
Memasuki rumah Pak Pur yang sudah diubah tata letaknya, rasa takut, kedinginan, dan gelisah menunggu sahabat-sahabat sirna seketika. Melihat wajah-wajah mungil, lucu, dan lugu-lugu membuat hatiku sedikit berdesir. Jika aku menjadi mereka, masih sanggupkan aku berwajah ceria, sumringah, tanpa beban? Anak-anak, selalu penuh dengan kegembiraan.
Anak-anak gunung yang kuat ini berkumpul di rumah Pak Pur 2 jam yang lalu, dengan tetap setia menanti kedatangan kami yang banyak molor karena hujan turun tiba-tiba. Kehausan mereka akan suasana belajar yang kondusif tampak di wajah-wajah mereka yang bersemangat dan antusias.
Bergabung dalam komunitas relawan Sahabat Merah Putih 14 bulan yang lalu membuat jiwaku terpanggil untuk terus mengabdi di daerah Selo dan sekitarnya. Kami tidak hanya membantu masyarakat sekitar Merapi dan Merbabu ketika ada bencana, tetapi kami membantu masyarakat setiap saat dibutuhkan, baik infrastruktur maupun sosial. Dan kali ini, jiwaku terpanggil untuk membantu anak-anak di Dusun Ngagrong dengan membuat sebuah sanggar belajar atas nama Sahabat Merah Putih. Mengadopsi konsep berpikir Indonesia Mengajar, yaitu mengabdi di daerah pelosok dalam menebarkan benih-benih positif dan optimisme kepada anak-anak yang mungkin mereka tidak pernah berpikir atau memiliki cita-cita seperti anak-anak sebagian di daerah perkotaan. Aku ditemani sahabat-sahabat relawan lokal yang hebat, gigih, tangguh, ikhlas, dan menyenangkan aku mencoba membangun serpihan-serpihan pendidikan yang terkoyak oleh ketiadaan sekolah di wilayah tersebut. Aku dan teman-teman memang belum mampu mendirikan sebuah sekolah di dusun tersebut, tetapi setidaknya kami memberi dorongan semangat belajar dan mengajak anak-anak untuk mulai memimpikan cita-cita mereka dan kemudian berusaha mewujudkannya.

Baru saja berakhir hujan disore ini,
Menyisakan keajaiban kilauan indahnya pelangi
(Ipang – Sahabat Kecil)

Dan memang, hujan baru saja reda ketika acara kami mulai. Sangat pas sekali dengan lagu yang kami putar di dalam rumah ini. Anak-anak sangat aktif terlibat dalam setiap permainan yang kami sajikan, mulai dari perkenalan sampai pada battle antar kelompok untuk menciptakan yel-yel dan masing-masing kelompok menyampaikan cita-cita mereka. Nama kelompoknya pun unik, sesuai hasil bumi kampung Ngagrong. Spontan, lahirlah nama kelompok Wortel, Bayam dan yang membuat kami terpingkal-pingkal adalah nama kelompok “KOL KEMBANG”.
Memang, tak perlu banyak “mikir” jadi anak-anak. Spontan, ngawur, tapi itulah yang menjadikannya seru.
Kami ingin anak-anak gunung ini menjadi anak yang tangguh dan tahan banting, dengan melatih keberanian mereka untuk mengungkapkan pendapat, konsentrasi, kreatif, dan memiliki mind set modern, bukan anak gunung yang udik dan ndeso. Lagi-lagi hatiku berdesir melihat energi anak-anak gunung ini. Apakah anak-anak kota akan bersemangat seperti anak-anak gunung ini jika aku dan sahabat-sahabatku membuat acara seperti ini? Ada haru yang tak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata.

Tak pernah terlewatkan dan tetap mengaguminya,
kesempatan seperti ini tak akan bisa dibeli
Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna sayang untuk mengakhirinya
(Ipang – Sahabat Kecil)

Ahhhhh… Kulepas jaket tebalku dan kunaikkan celanaku setinggi lutut, karena aku mulai gerah. Tubuhku membakar semua energi dan kebahagiaan di dalam diriku, sehingga rasanya aku tidak membutuhkan jaket atau apapun untuk membalut tubuh di dinginnya udara Gunung Merbabu. Aku terlalu bersemangat, terlalu bergairah, melihat semangat anak-anak gunung ini. Hangat rasanya berada di sekeliling anak-anak gunung ini, mereka anak-anak yang menyenangkan, ramah, dan saya rasa mereka hebat, sangat hebat.
Ketika aku membayangkan diriku sendiri menjadi anak-anak gunung ini, mungkin aku tidak akan pernah mau pergi ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 10 km dari dusun mereka. Dan aku akan terus mengatakan mereka hebat, karena mereka tetap pergi ke sekolah walaupun harus berjalan kaki melalui jalan berbatu, dan ditemani dengan hujan serta teriknya matahari khas pegunungan. Di sinilah peran kami membangkitkan semangat mereka, menciptakan mimpi-mimpi yang mungkin selama ini mereka pendam dan mencoba mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan
Takkan menyerah untuk hadapi hingga sedih tak mau datang lagi
(Ipang – Sahabat Kecil)

Tidak banyak anak-anak yang hadir hari itu, hanya 25 anak. Padahal menurut informasi yang kami dapatkan ada sekitar 50 anak usia sekolah dasar di Dusun Ngagrong. Tapi jumlah itu sudah cukup bagiku untuk sekedar tahu anak-anak seperti apa yang sedang kuhadapi. Dan aku bisa mengukur sebesar apa semangat mereka untuk menjadi anak yang memiliki nilai lebih.
Aku lebih senang menyebut mereka dengan sebutan “anak-anakku”, agar aku memiliki rasa memiliki dan tanggung jawab atas mereka. Di hari pertama pertemuan ini, aku mencoba mengenal dan memahami satu per satu anak-anakku. Nanda, anak laki-laki sedikit pemberontak, cerdas, pemberani, tapi sedikit temperamental. Dita, anak laki-laki yang murah senyum dan ramah. Sulis, si mungil yang bermimpi jadi pembalap. Dan satu lagi anakku yang spesial, Wanto.
Wanto berusia 14 tahun dan menderita keterbelakangan mental. Namun, tampak di wajahnya semangat belajar yang luar biasa. Ada keinginan kuat dalam dirinya untuk bisa diterima di lingkungannya. Tapi lingkungannya kurang memahami bagaimana seharusnya menyikapi anak seperti Wanto, sehingga Wanto menjadi minder. Aku berlari ke dapur untuk meminta piring kepada empunya rumah. Tiba-tiba ada seorang ibu yang mendekatiku dan menyapaku dengan sebutan “Ibu” kemudian bercerita tentang anaknya menderita keterbelakangan mental, tapi tidak menyebutkan nama anaknya. Pikiranku langsung tertuju pada Wanto. Aku hanya mengatakan akan mencoba sebisa dan semampuku membantu Wanto. Dan aku akan belajar.
Ke-25 anak tersebut kami bagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kami beri cutter, gunting, stirofoam, kertas, lem, kuas, dan cat air. Dengan benda-benda yang kami bagikan tersebut kami arahkan mereka untuk membuat tulisan SANGGAR BELAJAR SAHABAT MERAH PUTIH “BIMA KALANTAKA”, untuk kemudian menempelkannya pada kertas linen hitam yang kami tempelkan di dinding rumah Pak Pur.
Kami biarkan anak-anak berkreasi dan bekerja sama dengan anggota kelompoknya untuk menyelesaikan tugas yang kami berikan. Kembali hatiku berdesir, bahagia, dan kehangatan kembali menjalari sekujur tubuhku, saat melihat anak-anak gunung itu menempel potongan-potongan huruf pada kertas linen hitam. Aku seperti melihat anak-anak gunung itu sedang merangkai, kemudian menempelkan harapan dan mimpi mereka di sini, di sanggar belajar ini.
Dan rasa haru menghujani hatiku ketika semua potongan-potongan huruf itu sudah tertempel menjadi sebuah kalimat SANGGAR BELAJAR SAHABAT MERAH PUTIH “BIMA KALANTAKA”. Salah satu mimpi terbesarku sudah terwujud, walaupun baru seujung kuku. Membantu bangsa ini menjalankan amanah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”, membagikan ilmu yang kumiliki, dan membagikan pengalaman yang pernah kudapatkan untuk memotivasi mereka meraih apa yang mereka cita-citakan. Menyadarkan mereka untuk mencintai tempat mereka hidup tanpa mengabaikan bagaimana dunia luar. Seperti Kata Pak Anis Baswedan “Anak-anak Indonesia membutuhkan kompetensi kelas dunia untuk bersaing di lingkungan global. Tetapi, kompetensi kelas dunia saja tak cukup. Anak-anak muda Indonesia harus punya pemahaman empatik yang mendalam seperti akar rumput meresapi tanah tempatnya hidup”.
Tak lama, sahabat-sahabat yang membuat kami gelisah mulai berdatangan dalam kondisi basah kuyup. Pak Faishol, Pak Terry, Bu Terry, Senja, Lanang, Muslih, dan beberapa sahabat lainnya datang menyempurnakan kebahagiaanku. Ternyata respon datang dari banyak pihak. Aku yang mulanya takut menjalani ini sendirian, berubah pikiran. Aku tidak sendirian membangun semua ini, ada banyak orang-orang hebat dan penyayang yang akan terus membantu dan mendampingiku. Ada sahabat-sahabat dalam satu merah putih yang akan terus menemaniku membangun mimpi-mimpiku di negeri di atas kabut ini.
Bantuan keuangan, moral, dan buku-buku juga mengalir dari berbagai pihak. Pak Terry, Pak Faishol, dan Mas Dyke dari Kota Malang menyumbangkan sejumlah uang untuk operasional sanggar kami. Yayasan Amal Insani yang diwakili oleh Mas Anggoro juga menyumbangkan sejumlah buku dan banner, jauh-jauh dari Jakarta membawa buku-buku dalam bus menuju Solo dan kemudian mengangkutnya ke Dusun Ngagrong menggunakan motor, dan ini dilakukannya tanpa istirahat.














Betapa hatiku banjir saat itu, semua itu seperti dorongan semangat bagiku untuk terus mempertahankan kemajuan sanggar belajar ini. Walaupun banyak rintangan menghadang. Karena cita-citaku tidak berhenti hanya di sini. Masih ada misi yang sama bersama dengan sahabat-sahabat merah putihku untuk melakukannya di dusun lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar