pantai itu gak pernah membosankan. apalagi pergi dengan family gokilku.
kondang merak yang merupakan perkampungan nelayan, banyak dikunjungi wisatawan yang umumnya ingin menikmati ikan bakar hasil laut pantai selatan sembari menikmati indahnya ombak pantai selatan yang besar dan juga batu-batu karang yang menjulang tinggi, besar dan kokoh. ikan favorit para wisatawan biasanya adalah ikan tuna dan ikan tongkol.
pantai yang surut pada jam 2-5 sore ini menyuguhkan pemandangan batu karang yang luaaaaarrrrr biasa. wisatawan bisa bermain-main dengan banyak hewan laut kecil yang memang bersembunyi di antara batu-batu karang yang tersembul dari permukaan air laut. teripang pun juga bisa kita temukan saat surut. biasanya ada pula bintang laut yang terdampar di batu karang ini. pantai selatan yang sebenarnya adalah samudera Hindia atau biasa juga dikenal dengan Samudera Indonesia ini memang kaya akan hasil laut.
sayang sekali akses jalan untuk menuju pantai ini masih belum layak untuk menjadikan pantai kondang merak sebagai tujuan wisata.
tapi bau laut akan selalu membuat kita rindu, karena baunya membawa kita ke dalam ketenangan.
perjalanan mbolang saya sejak saya punya HP berkamera. hehehe... Indonesiaku sungguh Indah...
Kamis, 30 Agustus 2012
Minggu, 03 Juni 2012
BAMBU CINA KEBERUNTUNGAN DALAM BOLA-BOLA HIDROGEL
Punggung dan pundakku rasanya
seperti diberi pemberat berkilo-kilo. Lelah dan penat belum lagi hilang saat
kurebahkan tubuh di atas kasur dengan seprai putih milikku di kamar kos yang
sudah kutempati selama 3 tahun ini. Namun, aku sudah tak sabar ingin menuliskan
apa yang kualami hari ini bersama anak-anak pemberani dari matahari (Bima
Kalantaka) dan teman-teman relawan pengajar.
Pasar Cepogo, Minggu, 3 Juni 2012
pukul 09.14 WIB
Saya beserta teman-teman relawan
pengajar, Arif dan Yasinta, baru sampai di Pasar Cepogo yang langsung menyambut
kami dengan aroma khas daun adas. Aroma yang selalu membuatku merindukan Selo
lebih dibandingkan desa tempat kelahiranku sendiri di Malang. Tak lagi kami
hiraukan jalan yang naik turun dan berkelok-kelok, karena kami ingin segera
bertemu dengan anak-anak, kerinduan yang kurasa makin besar kian hari kepada
anak-anak ini.
Tarubatang, Surodadi, Pukul 09.26
WIB
Kami bertiga sampai di rumah Mas
Supri, salah satu relawan lokal Sahabat Merah Putih, yang rumahnya kami jadikan
tempat singgah sambil menunggu relawan pengajar yang lain. Rumahnya sangat
sepi, tidak ada orang di rumah karena hari masih pagi dan empunya rumah masih
di ladang atau sedang mencari rumput untuk ternak mereka. 15 menit kemudian,
Mbak Sugeng, salah satu relawan lokal Sahabat Merah Putih dari Dusun Lencoh
datang, disusul Mas Ferli 20 menit kemudian.
Pukul 11.17 WIB
Setelah persiapan dan technical meeting untuk agenda hari ini
selesai, kami pun segera beranjak menuju Ngagrong. Seperti minggu lalu, pick up milik Mas Supri sedang digunakan
untuk mengangkut sayuran ke pasar Cepogo. Padahal hari itu barang bawaan kami
lumayan banyak dan berat. Sehingga, kami harus rela naik motor menuju Sanggar
Bima Kalantaka yang boleh dibilang medannya adalah medan yang cukup berat untuk
sebuah motor, apalagi jika ditumpangi oleh 2 orang. Lagi-lagi dengan bermodal
nekad aku dan teman-teman berangkat menuju TKP. Dan tragedi minggu lalu harus
terulang kembali. Aku dan Yasinta harus rela jalan kaki sambil mendorong motor
karena motor kami tidak kuat di jalan yang tegaknya hampir 30°.
Walaupun nafas kami hampir habis, karena flu dan sedikitnya oksigen di tempat
ini, kami tetap naik perlahan tapi pasti. Dengan dibantu oleh teman-teman yang
lain, akhirnya motor kami sampai juga di tempat tujuan dengan selamat. Pak Pur,
pemilik rumah yang merelakan rumahnya untuk sanggar, menjemput kami di
‘gerbang’, karena beliau khawatir akan kondisi kami yang datang dalam keadaan ngos-ngosan, lemas, dan sedikit pusing
karena kekurangan oksigen.
Ngagrong, pukul 11.39 WIB
Gembira sekali melihat anak-anak
sudah berkumpul dengan jumlah yang cukup banyak hari ini. Terhitung ada 34 anak
yang hadir hari ini. Mereka sangat antusias, tetapi juga malu-malu ketika harus
maju ke depan untuk unjuk aksi di depan teman-temannya. Agenda kami hari ini
adalah menanam bambu Cina pada media hidrogel. Setelah diberi instruksi cara
membuatnya, mereka langsung berhamburan, berebut untuk mendapatkan hidrogel dan
tanaman dari teman-teman relawan pengajar. Melihat mereka sibuk berlarian ke
sana kemari, bertanya, dan minta tolong, membuat kami semakin bersemangat
menunjukkan semua teknik yang kami miliki untuk membuat hiasan hidrogel mereka
terlihat cantik dan menarik. Dan kami pun mengadakan sayembara, barang siapa
yang bisa merawat hidrogelnya dengan baik akan mendapatkan reward, semoga saja bisa melatih anak-anak untuk bertanggung jawab.
Setelah hidrogel mereka siap, kami abadikan karya mereka dengan berfoto-foto,
yang tidak dinyana adalah bahwa anak-anak ini juga narsis. Mereka sangat senang sekali difoto, sehingga gambar yang
kami ambil pun sangat memuaskan.
Setelah agenda pembuatan hiasan
dengan hidrogel selesai, kami belajar Bahasa Inggris. Kami belajar mengenal
warna-warna dalam Bahasa Inggris dan belajar membaca abjad dalam Bahasa Inggris
yang dibimbing oleh Yasinta. Anak-anak pun dengan cepat menangkap apa yang kami
ajarkan.
Hal lain yang membuatku lebih
bahagia lagi, hari ini Wanto datang, setelah minggu lalu ia tidak hadir. Anak ajaibku
yang diberi keistimewaan oleh Tuhan ini sudah mulai bisa diajak berkomunikasi.
Mungkin karena kami sudah bertemu untuk yang kesekian kalinya. Ia pun kami
bimbing untuk membuat karya yang sama dengan teman-temannya, tentunya dengan
bantuan teman-temannya. Setelah karyanya jadi, kami pun mulai membangun
kepercayaan dirinya dengan berpose di depan kamera kemudian kami suruh ia untuk
maju ke depan di hadapan teman-temannya. Mas Supri, yang hari itu ikut hadir di
sanggar, dengan penuh kesabaran dan kebapakan, mencoba melatih Wanto menulis.
Dan Wanto pun dengan sangat senang menerima ajakan Mas Supri untuk menulis. Air
mataku menetes perlahan, yang segera kuusap dengan telapak tangan, melihat Wanto
yang terlihat sangat bersemangat sekali untuk menulis. 1 lembar kertas ukuran
A4 penuh dengan tulisan tangannya. Tangannya yang kaku, sudah mulai lemas. Ia
menunjukkan kemampuannya kepada kami. Kemampuannya menyenangkan hati orang lain,
membuat orang lain tersenyum dengan gurauan dan wajahnya yang polos. Kami tidak
membedakan perlakuan kepada anak-anak, terutama kepada Wanto, tetapi mungkin
perlu porsi lebih untuk anak-anak seperti Wanto.
Pukul 14.49 WIB
Merbabu mulai gelap, awan hitam
mulai menggantung di kolong-kolong langit, dan menutup sebagian besar
bukit-bukit yang menyusun Gunung Merbabu ini. Kami meninggalkan sanggar dengan
perasaan gembira dan puas. Rasa puas yang tak bisa diukur dan diungkapkan
dengan kata-kata. Berbagi itu memang selalu membuat siapa saja yang lapar jadi
kenyang seketika.
Sabtu, 12 Mei 2012
BIMA KALANTAKA, LEHER GUNUNG MERBABU
Dingin menusuk dan angin
sepoi-sepoi semilir lembab, khas udara gunung, menemani perjalanan kami menuju
Dusun Ngagrong, Kelurahan Ngagrong, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali.
Mengendarai mobil pick up milik Supri,
salah satu relawan lokal, kami meluncur melewati jalan berliku dan naik turun serta
mengguncang tubuh kami yang menggigil. Indahnya pemandangan lereng Merbabu dan guyonan-guyonan di atas pick up tidak mampu menghilangkan rasa
dingin yang membalut tubuhku, tetapi ada kehangatan yang mengalir di sekujur
tubuhku. Kehangatan yang bukan berasal dari balutan jaket tebalku dan bukan
berasal dari pelukan sahabat-sahabatku. Tetapi, kehangatan yang muncul saat
kebahagiaan membuncah dalam diriku.
Hari itu, Minggu, 8 April
2012, hujan turun dengan derasnya begitu kami menginjakkan kaki di Dusun
Ngagrong. Dusun ini jauh dari keramaian kota, jauh dari megahnya
bangunan-bangunan mewah, dan jauh dari polusi-polusi udara yang menyesakkan
dada. Letaknya yang berada di ketinggian sekitar 2.400 m
dpl atau kurang lebih 800 m dari puncak Gunung Merbabu membuat dusun ini sangat
sulit ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Sembari berteduh dan
menghangatkan tubuh di rumah Mas Joko, salah satu warga Ngagrong, kami menunggu
rombongan sahabat-sahabat kami yang datang dari Jogja untuk misi yang sama. Tak
berapa lama, datanglah 2 sahabat UIN Jogja, Lily dan Imus, dalam kondisi basah
kuyup. Dengan gelisah, kami masih menunggu sahabat-sahabat yang lain, kami
membayangkan jalan makadam menanjak dengan
kemiringan sampai 80 derajat yang tentu semakin licin oleh siraman air hujan. Apalagi,
Lily mengabari rombongan Jogja datang dengan mengendarai sepeda motor.
Belum sempat wajah ini bersua
dengan sahabat-sahabat kami yang sedang berjuang naik ke dusun ini, Pak Pur,
wakil ketua RT Dusun Ngagrong sekaligus pemilik rumah yang akan kami kunjungi,
datang membawa setumpuk payung. Dengan penuh semangat, beliau menyampaikan
bahwa anak-anak sudah menunggu 2 jam yang lalu. Berteduh di bawah payung-payung
yang dibawakan Pak Pur, kami meluncur ke rumah limasan, rumah tradisional
daerah pegunungan warga Boyolali. Perlahan aku melangkah diiringi para
sahabatku, menapak selangkah demi selangkah, dengan keberanian yang kupaksakan,
karena jalan berbatu menurun tajam ditambah lagi siraman hujan deras dan kabut membuatnya
semakin menyeramkan.
Memasuki rumah Pak Pur yang sudah
diubah tata letaknya, rasa takut, kedinginan, dan gelisah menunggu
sahabat-sahabat sirna seketika. Melihat wajah-wajah mungil, lucu, dan lugu-lugu
membuat hatiku sedikit berdesir. Jika aku menjadi mereka, masih sanggupkan aku
berwajah ceria, sumringah, tanpa
beban? Anak-anak, selalu penuh dengan kegembiraan.
Anak-anak gunung yang kuat
ini berkumpul di rumah Pak Pur 2 jam yang lalu, dengan tetap setia menanti
kedatangan kami yang banyak molor
karena hujan turun tiba-tiba. Kehausan mereka akan suasana belajar yang
kondusif tampak di wajah-wajah mereka yang bersemangat dan antusias.
Bergabung dalam komunitas
relawan Sahabat Merah Putih 14 bulan yang lalu membuat jiwaku terpanggil untuk
terus mengabdi di daerah Selo dan sekitarnya. Kami tidak hanya membantu
masyarakat sekitar Merapi dan Merbabu ketika ada bencana, tetapi kami membantu
masyarakat setiap saat dibutuhkan, baik infrastruktur maupun sosial. Dan kali
ini, jiwaku terpanggil untuk membantu anak-anak di Dusun Ngagrong dengan
membuat sebuah sanggar belajar atas nama Sahabat Merah Putih. Mengadopsi konsep
berpikir Indonesia Mengajar, yaitu mengabdi di daerah pelosok dalam menebarkan
benih-benih positif dan optimisme kepada anak-anak yang mungkin mereka tidak
pernah berpikir atau memiliki cita-cita seperti anak-anak sebagian di daerah
perkotaan. Aku ditemani sahabat-sahabat relawan lokal yang hebat, gigih,
tangguh, ikhlas, dan menyenangkan aku mencoba membangun serpihan-serpihan
pendidikan yang terkoyak oleh ketiadaan sekolah di wilayah tersebut. Aku dan
teman-teman memang belum mampu mendirikan sebuah sekolah di dusun tersebut,
tetapi setidaknya kami memberi dorongan semangat belajar dan mengajak anak-anak
untuk mulai memimpikan cita-cita mereka dan kemudian berusaha mewujudkannya.
Baru saja berakhir hujan disore ini,
Menyisakan keajaiban kilauan indahnya pelangi
(Ipang – Sahabat Kecil)
Dan memang, hujan baru saja reda
ketika acara kami mulai. Sangat pas sekali dengan lagu yang kami putar di dalam
rumah ini. Anak-anak sangat aktif terlibat dalam setiap permainan yang kami
sajikan, mulai dari perkenalan sampai pada battle
antar kelompok untuk menciptakan yel-yel
dan masing-masing kelompok menyampaikan cita-cita mereka. Nama kelompoknya pun
unik, sesuai hasil bumi kampung Ngagrong. Spontan, lahirlah nama kelompok
Wortel, Bayam dan yang membuat kami terpingkal-pingkal adalah nama kelompok
“KOL KEMBANG”.
Memang, tak perlu banyak “mikir” jadi anak-anak. Spontan, ngawur,
tapi itulah yang menjadikannya seru.
Kami ingin anak-anak gunung
ini menjadi anak yang tangguh dan tahan banting, dengan melatih keberanian
mereka untuk mengungkapkan pendapat, konsentrasi, kreatif, dan memiliki mind set modern, bukan anak gunung yang udik dan ndeso. Lagi-lagi hatiku berdesir melihat energi anak-anak gunung
ini. Apakah anak-anak kota akan bersemangat seperti anak-anak gunung ini jika
aku dan sahabat-sahabatku membuat acara seperti ini? Ada haru yang tak bisa ku
ungkapkan dengan kata-kata.
Tak pernah terlewatkan dan tetap mengaguminya,
kesempatan seperti ini tak akan bisa dibeli
Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa
mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna sayang untuk
mengakhirinya
(Ipang – Sahabat Kecil)
Ahhhhh… Kulepas jaket tebalku
dan kunaikkan celanaku setinggi lutut, karena aku mulai gerah. Tubuhku membakar
semua energi dan kebahagiaan di dalam diriku, sehingga rasanya aku tidak
membutuhkan jaket atau apapun untuk membalut tubuh di dinginnya udara Gunung Merbabu.
Aku terlalu bersemangat, terlalu bergairah, melihat semangat anak-anak gunung
ini. Hangat rasanya berada di sekeliling anak-anak gunung ini, mereka anak-anak
yang menyenangkan, ramah, dan saya rasa mereka hebat, sangat hebat.
Ketika aku membayangkan diriku
sendiri menjadi anak-anak gunung ini, mungkin aku tidak akan pernah mau pergi
ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 10 km dari dusun mereka. Dan aku akan
terus mengatakan mereka hebat, karena mereka tetap pergi ke sekolah walaupun
harus berjalan kaki melalui jalan berbatu, dan ditemani dengan hujan serta
teriknya matahari khas pegunungan. Di sinilah peran kami membangkitkan semangat
mereka, menciptakan mimpi-mimpi yang mungkin selama ini mereka pendam dan
mencoba mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan
Takkan menyerah untuk hadapi hingga sedih tak
mau datang lagi
(Ipang – Sahabat Kecil)
Tidak banyak anak-anak yang
hadir hari itu, hanya 25 anak. Padahal menurut informasi yang kami dapatkan ada
sekitar 50 anak usia sekolah dasar di Dusun Ngagrong. Tapi jumlah itu sudah
cukup bagiku untuk sekedar tahu anak-anak seperti apa yang sedang kuhadapi. Dan
aku bisa mengukur sebesar apa semangat mereka untuk menjadi anak yang memiliki
nilai lebih.
Aku lebih senang menyebut mereka
dengan sebutan “anak-anakku”, agar aku memiliki rasa memiliki dan tanggung
jawab atas mereka. Di hari pertama pertemuan ini, aku mencoba mengenal dan
memahami satu per satu anak-anakku. Nanda, anak laki-laki sedikit pemberontak,
cerdas, pemberani, tapi sedikit temperamental. Dita, anak laki-laki yang murah
senyum dan ramah. Sulis, si mungil yang bermimpi jadi pembalap. Dan satu lagi
anakku yang spesial, Wanto.
Wanto berusia 14 tahun dan
menderita keterbelakangan mental. Namun, tampak di wajahnya semangat belajar
yang luar biasa. Ada keinginan kuat dalam dirinya untuk bisa diterima di
lingkungannya. Tapi lingkungannya kurang memahami bagaimana seharusnya
menyikapi anak seperti Wanto, sehingga Wanto menjadi minder. Aku berlari ke dapur untuk meminta piring kepada empunya
rumah. Tiba-tiba ada seorang ibu yang mendekatiku dan menyapaku dengan sebutan
“Ibu” kemudian bercerita tentang anaknya menderita keterbelakangan mental, tapi
tidak menyebutkan nama anaknya. Pikiranku langsung tertuju pada Wanto. Aku hanya
mengatakan akan mencoba sebisa dan semampuku membantu Wanto. Dan aku akan
belajar.
Ke-25 anak tersebut kami bagi
menjadi tiga kelompok. Masing-masing kami beri cutter, gunting, stirofoam,
kertas, lem, kuas, dan cat air. Dengan benda-benda yang kami bagikan tersebut
kami arahkan mereka untuk membuat tulisan SANGGAR
BELAJAR SAHABAT MERAH PUTIH “BIMA KALANTAKA”, untuk kemudian menempelkannya
pada kertas linen hitam yang kami tempelkan di dinding rumah Pak Pur.
Kami biarkan anak-anak
berkreasi dan bekerja sama dengan anggota kelompoknya untuk menyelesaikan tugas
yang kami berikan. Kembali hatiku berdesir, bahagia, dan kehangatan kembali
menjalari sekujur tubuhku, saat melihat anak-anak gunung itu menempel
potongan-potongan huruf pada kertas linen hitam. Aku seperti melihat anak-anak
gunung itu sedang merangkai, kemudian menempelkan harapan dan mimpi mereka di
sini, di sanggar belajar ini.
Dan rasa haru menghujani
hatiku ketika semua potongan-potongan huruf itu sudah tertempel menjadi sebuah
kalimat SANGGAR BELAJAR SAHABAT MERAH
PUTIH “BIMA KALANTAKA”. Salah satu mimpi terbesarku sudah terwujud,
walaupun baru seujung kuku. Membantu bangsa ini menjalankan amanah
“Mencerdaskan kehidupan bangsa”, membagikan ilmu yang kumiliki, dan membagikan
pengalaman yang pernah kudapatkan untuk memotivasi mereka meraih apa yang
mereka cita-citakan. Menyadarkan mereka untuk mencintai tempat mereka hidup
tanpa mengabaikan bagaimana dunia luar. Seperti Kata Pak Anis Baswedan “Anak-anak Indonesia membutuhkan kompetensi
kelas dunia untuk bersaing di lingkungan global. Tetapi, kompetensi kelas dunia
saja tak cukup. Anak-anak muda Indonesia harus punya pemahaman empatik yang
mendalam seperti akar rumput meresapi tanah tempatnya hidup”.
Tak lama, sahabat-sahabat
yang membuat kami gelisah mulai berdatangan dalam kondisi basah kuyup. Pak
Faishol, Pak Terry, Bu Terry, Senja, Lanang, Muslih, dan beberapa sahabat
lainnya datang menyempurnakan kebahagiaanku. Ternyata respon datang dari banyak
pihak. Aku yang mulanya takut menjalani ini sendirian, berubah pikiran. Aku
tidak sendirian membangun semua ini, ada banyak orang-orang hebat dan penyayang
yang akan terus membantu dan mendampingiku. Ada sahabat-sahabat dalam satu
merah putih yang akan terus menemaniku membangun mimpi-mimpiku di negeri di
atas kabut ini.
Bantuan keuangan, moral, dan
buku-buku juga mengalir dari berbagai pihak. Pak Terry, Pak Faishol, dan Mas
Dyke dari Kota Malang menyumbangkan sejumlah uang untuk operasional sanggar
kami. Yayasan Amal Insani yang diwakili oleh Mas Anggoro juga menyumbangkan
sejumlah buku dan banner, jauh-jauh
dari Jakarta membawa buku-buku dalam bus menuju Solo dan kemudian mengangkutnya
ke Dusun Ngagrong menggunakan motor, dan ini dilakukannya tanpa istirahat.
Betapa hatiku banjir saat
itu, semua itu seperti dorongan semangat bagiku untuk terus mempertahankan
kemajuan sanggar belajar ini. Walaupun banyak rintangan menghadang. Karena
cita-citaku tidak berhenti hanya di sini. Masih ada misi yang sama bersama
dengan sahabat-sahabat merah putihku untuk melakukannya di dusun lain.
COBAN PUTRI/COBAN GENDHENG, TLEKUNG, BATU
Namanya Bolangers, pasti tau aja
tempat-tempat tersembunyi yang tidak banyak diketahui orang. Coban Putri ini
dulunya bernama Coban Gendheng. Letaknya di bawah Coban Rais. Tetapi belum
banyak diakses orang, karena medannya yang masih sulit dilalui. Denger-denger
sih sedang proses untuk dijadikan salah satu tempat wisata di Batu.
Melalui jalan yang sempit dan sungai
kami menuju ke Coban Putri. Sepanjang perjalanan kami tak henti-hentinya
tersenyum sambil menghirup hawa segar yang dapat menyejukkan hati dan mata
kami. Banyak tempat-tempat indah yang sudah kami kunjungi, tapi kami tidak
pernah jengah ataupun bosan mencari dan menlihat-lihat hal yang serupa. Tak ada
pengunjung lain selain pencari kayu yang ada di coban ini. Karena memang belum
banyak yang tahu tempat ini. Yang punya waktu dan punya jiwa ‘mbolang’ jangan
lupa kunjungi tempat ini, sebelum dibuka jadi tempat wisata.
PANTAI SIUNG, GUNUNG KIDUL, JOGJAKARTA
Acara makrab Solmated di Gunung
Kidul, Jogjakarta. Dengan mendirikan tenda, kami bermalam di sini. Di kanan dan
kiri pantai terdapat bukit indah. Namanya juga pantai selatan, ombaknya ya
besar-besar dan batu-batunya juga raksasa-raksasa. Sesampainya di pantai Siung,
kami naik bukit untuk melihat matahari terbenam di sunset spot. Debur ombak dan hembusan angin pantai selalu
menghadirkan suasana damai buatku. Aku juga salah satu penggemar pantai.
Pasir-pasir pantai bisa membuatku relax.
Ditemani debur ombak dan angin malam, kami mengelilingi api unggun, bernyanyi,
menari, dan melawak bersama. Sungguh unforgettable
moment in my life.
Esok harinya, setelah sholat subuh,
kami jalan-jalan di sepanjang pantai dan berolah raga, kemudian makan pagi, dan
persiapan balik ke Solo.
TAMAN BUNGA SIDOMULYO
Acara lanjutan setelah mbolang di
Kondang Merak. Kebun ini punya orang, tapi daripada aku ngiler, mending jujur
ngomong sama yang punya kalau aku pengen foto di tengah-tengah kebunnya. Dan
Alhamdulillah diberi ijin. Hehehe…
Keren kan…
Selain wisata alam yang indah, Batu
juga punya wisata agro (buah maupun bunga). Jadi kalau ke Batu jangan hanya
pergi ke tempat-tempat wisata yang bisa merogoh kocek lebih dalam, sesekali
pergilah berwisata ke tempat-tempat yang menyajikan kepuasan batin.
Sabtu, 14 April 2012
BUKIT TELETUBIES, PUNTEN, BATU
Memang tidak seluas bukitnya
Teletubies di Indosiar itu, tapi sangat indah. Dengan latar belakang gunung
Arjuna bukit ini jadi makin ‘asooooii’. Di bawah bukit ini terdapat mata air
yang menghidupi sebagian besar masyarakat Kota Batu. Dan lagi, dan lagi, dan
lagi, mulutku bergumam, berdecak kagum akan kebesaran Tuhan menciptakan
tempat-tempat indah di sekelilingku. Tapi sayangnya, di sini banyak ABG yang
pacaran, masih pake seragam SMP/SMA. Dan akhirnya kita yang tua-tua ngalah
dech, nyari tempat lain. Malu sama yang muda-muda.
Senin, 19 Maret 2012
SONDOKORO, KARANGANYAR, JAWA TENGAH
Sondokoro ini dulunya adalah pabrik
gula yang saat ini dijadikan sebagai tempat wisata. Ada terapi ikan dan batu,
taman herbal, dan masih banyak lagi area bermain di sini. Tidak ada yang
spesial, tapi suasana hening yang ada di sini membuat kita bisa sedikit bisa
bermeditasi. Ada suasana mistik yang kurasakan ketika memasuki rumah akuarium.
Entah karena suasananya yang sedikit gelap, atau karena rumah yang digunakan
adalah rumah kuno.
Terdapat villa juga jika pengunjung
ingin menginap di sini. Jika musim liburan area outbond akan dipenuhi oleh
anak-anak.
Sabtu, 25 Februari 2012
ALUN-ALUN KOTA mBATU
Bagi orang Batu, alun-alun ini
tampak biasa. Tapi bagi orang yang ada di luar Batu, tempat ini menjadi salah
satu tempat kunjungan wajib. Tidak seperti alun-alun lain yang identik dengan
pohon beringin, alun-alun ini malah dipenuhi dengan patung-patung, apel,
strawberi, dan hewan-hewan. Alun-alun ini lebih cocok disebut dengan taman
bermain.
Weekend atau pada saat musim liburan,
alun-alun ini akan dipenuhi oleh wisatawan dari luar Kota Batu. Bus-bus akan
berjejer di depan masjid An-Nur Kota Batu, tepat di depan alun-alun Kota Batu.
Di sekitar alun-alun terdapat kompleks perbelanjaan (Batu Tourism Centre/BTC)
dan wisata kuliner. Namanya juga tempat wisata, harga barang-barang dan makanan
di sini juga sedikit lebih mahal, tapi gak mahal-mahal banget kok. Jangan lupa
bawa duit yang sedikit banyak kalau mau belanja-belanja di sini. Karena
jalan-jalan di sini bikin ngiler dan
khilaf.
Minggu, 12 Februari 2012
SEKOLAH BATIK ONLINE, GIRILOYO, IMOGIRI, JOGJAKARTA
Giriloyo, makam raja-raja, naik
sedikit terdapat sebuah desa batik yang dibina oleh Mas Faishol. Dengan adanya
binaan dari teman-teman, warga pembatik ini mulai mendapatkan kesejahteraan
dari hasil batiknya. Anak-anaknya juga dibina untuk melestarikan batik yang
sudah jadi icon di kampong mereka.
Melihat karya batik anak-anak ini,
bibirku berdecak kagum. Woooowwww, bisa gak ya aku mBatik???
Dan akhirnya tanganku gatal untuk
mencoba membatik. Menggambar sesukaku di selembar kain kecil, sekedar
menghilangkan rasa penasaranku. Ternyata sulit sekali, saudara-saudara.
Tapi aku yakin sesuatu itu bisa
menjadi bagus kalau terbiasa. Karena ini baru pertama kalinya aku mencoba, maka
hasilnya boleh dibilang tidak begitu jelek. Hehehe…
PANTAI PARANGTRITIS, JOGJAKARTA
Jogja, Never ending story. Ini juga
salah satu kado sepulang dari Malaysia. Melepas penat setelah 5 bulan terkurung
dalam asrama kampus di Universiti Putra Malaysia, Jogja menjadi kunjungan untuk
sekedar melepas jenuh dan melepas rindu akan indahnya Indonesiaku. Pantainya
yang berpasir hitam membuat kaki kami kotor. Tidak ada pepohonan besar yang
menaungi pantai ini yang membuatnya menjadi pantai yang panas dan gersang. Tapi
yang namanya pengunjung juga gak sepi. Panas-panas main air laut dan main pasir
hitam yang halus. Ada yang naik delman, APV, dan kuda, ada yang jalan kaki, ada
yang tiduran, waaah, pokoknya bermacam-macam aktivitas ada di pantai ini.
Senin, 06 Februari 2012
PARALAYANG, GUNUNG BANYAK, BATU
Batu itu never ending mBolang dech.
Cocok banget buat jiwa-jiwa bolangers. Dan untungnya aku dapat calon suami
orang Batu yang bisa nemeni aku mbolang everywhere.
Tempat ini tidak sulit untuk dijangkau, hanya saja dibutuhkan kendaraan yang
kuat melaju pada medan yang menanjak. Setelah menikmati bakso ala Gunung
Banyak, kami menuju spot paralayang
untuk menyaksikan sunset yang indah.
Negeri di atas awan, kata Mas Katon. Subhanallah, indahnya. Ketika menuju ke
paralayang, ada seseorang yang pernah kulihat, gendut dan gondrong. Sawang di
sawang san soyo suwe, eh, ternyata itu adalah Budi Klanting yang sedang liburan
ke Batu. Jadilah sesi foto-foto bareng artis ini berjalan mulus, ditambah lagi
baterai HP mereka ada lowbat semua,
dan akhirnya menggunakan HPku untuk foto-foto.
Bagaikan menggenggam matahari, sunset di sini begitu indah. Apalagi
bersamamu, B…
I LOVE YOU…
Langganan:
Postingan (Atom)