Senin, 20 Mei 2013

GANTOLE-WONOGIRI

sudah lama sekali rasanya tidak mengeposkan perjalanan mbolang saya.
kali ini acaranya karena ada Anung yang lagi main ke solo sebelum berangkat ke Kupang.
nama tempat yang kami kunjungi itu adalah Gantole di Wonogiri.
Gantole memiliki nama lain paralayang atau layang gantung. dan gantole di Wonogiri ini adalah milik TNI AU.
dari atas gantole ini kita bisa melihat seluruh waduk Gadjah Mungkur dari ketinggian kurang lebih 1.100 m dpl. dan tempat ini di kelilingi oleh bukit-bukit tinggi yang hijau.
view point ini biasanya dipenuhi remaja-remaja yang sedang berpacaran, tapi bagi pengunjung yang ingin memanjakan mata dengan view yang hijau dan segar tempat ini bisa menjadi salah satu pilihan. apalagi tidak ada tarif untuk memasuki tempat ini. dan yang harus diingat, kalau membawa motor ke tempat ini, bawalah motor yang kuat menanjak, karena tempatnya lumayan tinggi dengan tanjakan ekstrim.







Kamis, 30 Agustus 2012

KONDANG MERAK-LAGI

pantai itu gak pernah membosankan. apalagi pergi dengan family gokilku.
kondang merak yang merupakan perkampungan nelayan, banyak dikunjungi wisatawan yang umumnya ingin menikmati ikan bakar hasil laut pantai selatan sembari menikmati indahnya ombak pantai selatan yang besar dan juga batu-batu karang yang menjulang tinggi, besar dan kokoh. ikan favorit para wisatawan biasanya adalah ikan tuna dan ikan tongkol.
pantai yang surut pada jam 2-5 sore ini menyuguhkan pemandangan batu karang yang luaaaaarrrrr biasa. wisatawan bisa bermain-main dengan banyak hewan laut kecil yang memang bersembunyi di antara batu-batu karang yang tersembul dari permukaan air laut. teripang pun juga bisa kita temukan saat surut. biasanya ada pula bintang laut yang terdampar di batu karang ini. pantai selatan yang sebenarnya adalah samudera Hindia atau biasa juga dikenal dengan Samudera Indonesia ini memang kaya akan hasil laut.
sayang sekali akses jalan untuk menuju pantai ini masih belum layak untuk menjadikan pantai kondang merak sebagai tujuan wisata.










tapi bau laut akan selalu membuat kita rindu, karena baunya membawa kita ke dalam ketenangan.

Minggu, 03 Juni 2012

BAMBU CINA KEBERUNTUNGAN DALAM BOLA-BOLA HIDROGEL


Punggung dan pundakku rasanya seperti diberi pemberat berkilo-kilo. Lelah dan penat belum lagi hilang saat kurebahkan tubuh di atas kasur dengan seprai putih milikku di kamar kos yang sudah kutempati selama 3 tahun ini. Namun, aku sudah tak sabar ingin menuliskan apa yang kualami hari ini bersama anak-anak pemberani dari matahari (Bima Kalantaka) dan teman-teman relawan pengajar.
Pasar Cepogo, Minggu, 3 Juni 2012 pukul 09.14 WIB
Saya beserta teman-teman relawan pengajar, Arif dan Yasinta, baru sampai di Pasar Cepogo yang langsung menyambut kami dengan aroma khas daun adas. Aroma yang selalu membuatku merindukan Selo lebih dibandingkan desa tempat kelahiranku sendiri di Malang. Tak lagi kami hiraukan jalan yang naik turun dan berkelok-kelok, karena kami ingin segera bertemu dengan anak-anak, kerinduan yang kurasa makin besar kian hari kepada anak-anak ini.
Tarubatang, Surodadi, Pukul 09.26 WIB
Kami bertiga sampai di rumah Mas Supri, salah satu relawan lokal Sahabat Merah Putih, yang rumahnya kami jadikan tempat singgah sambil menunggu relawan pengajar yang lain. Rumahnya sangat sepi, tidak ada orang di rumah karena hari masih pagi dan empunya rumah masih di ladang atau sedang mencari rumput untuk ternak mereka. 15 menit kemudian, Mbak Sugeng, salah satu relawan lokal Sahabat Merah Putih dari Dusun Lencoh datang, disusul Mas Ferli 20 menit kemudian.
Pukul 11.17 WIB
Setelah persiapan dan technical meeting untuk agenda hari ini selesai, kami pun segera beranjak menuju Ngagrong. Seperti minggu lalu, pick up milik Mas Supri sedang digunakan untuk mengangkut sayuran ke pasar Cepogo. Padahal hari itu barang bawaan kami lumayan banyak dan berat. Sehingga, kami harus rela naik motor menuju Sanggar Bima Kalantaka yang boleh dibilang medannya adalah medan yang cukup berat untuk sebuah motor, apalagi jika ditumpangi oleh 2 orang. Lagi-lagi dengan bermodal nekad aku dan teman-teman berangkat menuju TKP. Dan tragedi minggu lalu harus terulang kembali. Aku dan Yasinta harus rela jalan kaki sambil mendorong motor karena motor kami tidak kuat di jalan yang tegaknya hampir 30°. Walaupun nafas kami hampir habis, karena flu dan sedikitnya oksigen di tempat ini, kami tetap naik perlahan tapi pasti. Dengan dibantu oleh teman-teman yang lain, akhirnya motor kami sampai juga di tempat tujuan dengan selamat. Pak Pur, pemilik rumah yang merelakan rumahnya untuk sanggar, menjemput kami di ‘gerbang’, karena beliau khawatir akan kondisi kami yang datang dalam keadaan ngos-ngosan, lemas, dan sedikit pusing karena kekurangan oksigen.
Ngagrong, pukul 11.39 WIB
Gembira sekali melihat anak-anak sudah berkumpul dengan jumlah yang cukup banyak hari ini. Terhitung ada 34 anak yang hadir hari ini. Mereka sangat antusias, tetapi juga malu-malu ketika harus maju ke depan untuk unjuk aksi di depan teman-temannya. Agenda kami hari ini adalah menanam bambu Cina pada media hidrogel. Setelah diberi instruksi cara membuatnya, mereka langsung berhamburan, berebut untuk mendapatkan hidrogel dan tanaman dari teman-teman relawan pengajar. Melihat mereka sibuk berlarian ke sana kemari, bertanya, dan minta tolong, membuat kami semakin bersemangat menunjukkan semua teknik yang kami miliki untuk membuat hiasan hidrogel mereka terlihat cantik dan menarik. Dan kami pun mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa merawat hidrogelnya dengan baik akan mendapatkan reward, semoga saja bisa melatih anak-anak untuk bertanggung jawab. Setelah hidrogel mereka siap, kami abadikan karya mereka dengan berfoto-foto, yang tidak dinyana adalah bahwa anak-anak ini juga narsis. Mereka sangat senang sekali difoto, sehingga gambar yang kami ambil pun sangat memuaskan.
Setelah agenda pembuatan hiasan dengan hidrogel selesai, kami belajar Bahasa Inggris. Kami belajar mengenal warna-warna dalam Bahasa Inggris dan belajar membaca abjad dalam Bahasa Inggris yang dibimbing oleh Yasinta. Anak-anak pun dengan cepat menangkap apa yang kami ajarkan.
Hal lain yang membuatku lebih bahagia lagi, hari ini Wanto datang, setelah minggu lalu ia tidak hadir. Anak ajaibku yang diberi keistimewaan oleh Tuhan ini sudah mulai bisa diajak berkomunikasi. Mungkin karena kami sudah bertemu untuk yang kesekian kalinya. Ia pun kami bimbing untuk membuat karya yang sama dengan teman-temannya, tentunya dengan bantuan teman-temannya. Setelah karyanya jadi, kami pun mulai membangun kepercayaan dirinya dengan berpose di depan kamera kemudian kami suruh ia untuk maju ke depan di hadapan teman-temannya. Mas Supri, yang hari itu ikut hadir di sanggar, dengan penuh kesabaran dan kebapakan, mencoba melatih Wanto menulis. Dan Wanto pun dengan sangat senang menerima ajakan Mas Supri untuk menulis. Air mataku menetes perlahan, yang segera kuusap dengan telapak tangan, melihat Wanto yang terlihat sangat bersemangat sekali untuk menulis. 1 lembar kertas ukuran A4 penuh dengan tulisan tangannya. Tangannya yang kaku, sudah mulai lemas. Ia menunjukkan kemampuannya kepada kami. Kemampuannya menyenangkan hati orang lain, membuat orang lain tersenyum dengan gurauan dan wajahnya yang polos. Kami tidak membedakan perlakuan kepada anak-anak, terutama kepada Wanto, tetapi mungkin perlu porsi lebih untuk anak-anak seperti Wanto.
Pukul 14.49 WIB















Merbabu mulai gelap, awan hitam mulai menggantung di kolong-kolong langit, dan menutup sebagian besar bukit-bukit yang menyusun Gunung Merbabu ini. Kami meninggalkan sanggar dengan perasaan gembira dan puas. Rasa puas yang tak bisa diukur dan diungkapkan dengan kata-kata. Berbagi itu memang selalu membuat siapa saja yang lapar jadi kenyang seketika.

Sabtu, 12 Mei 2012

BIMA KALANTAKA, LEHER GUNUNG MERBABU


Dingin menusuk dan angin sepoi-sepoi semilir lembab, khas udara gunung, menemani perjalanan kami menuju Dusun Ngagrong, Kelurahan Ngagrong, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali. Mengendarai mobil pick up milik Supri, salah satu relawan lokal, kami meluncur melewati jalan berliku dan naik turun serta mengguncang tubuh kami yang menggigil. Indahnya pemandangan lereng Merbabu dan guyonan-guyonan di atas pick up tidak mampu menghilangkan rasa dingin yang membalut tubuhku, tetapi ada kehangatan yang mengalir di sekujur tubuhku. Kehangatan yang bukan berasal dari balutan jaket tebalku dan bukan berasal dari pelukan sahabat-sahabatku. Tetapi, kehangatan yang muncul saat kebahagiaan membuncah dalam diriku.
Hari itu, Minggu, 8 April 2012, hujan turun dengan derasnya begitu kami menginjakkan kaki di Dusun Ngagrong. Dusun ini jauh dari keramaian kota, jauh dari megahnya bangunan-bangunan mewah, dan jauh dari polusi-polusi udara yang menyesakkan dada. Letaknya yang berada di ketinggian sekitar 2.400 m dpl atau kurang lebih 800 m dari puncak Gunung Merbabu membuat dusun ini sangat sulit ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Sembari berteduh dan menghangatkan tubuh di rumah Mas Joko, salah satu warga Ngagrong, kami menunggu rombongan sahabat-sahabat kami yang datang dari Jogja untuk misi yang sama. Tak berapa lama, datanglah 2 sahabat UIN Jogja, Lily dan Imus, dalam kondisi basah kuyup. Dengan gelisah, kami masih menunggu sahabat-sahabat yang lain, kami membayangkan jalan makadam menanjak dengan kemiringan sampai 80 derajat yang tentu semakin licin oleh siraman air hujan. Apalagi, Lily mengabari rombongan Jogja datang dengan mengendarai sepeda motor.
Belum sempat wajah ini bersua dengan sahabat-sahabat kami yang sedang berjuang naik ke dusun ini, Pak Pur, wakil ketua RT Dusun Ngagrong sekaligus pemilik rumah yang akan kami kunjungi, datang membawa setumpuk payung. Dengan penuh semangat, beliau menyampaikan bahwa anak-anak sudah menunggu 2 jam yang lalu. Berteduh di bawah payung-payung yang dibawakan Pak Pur, kami meluncur ke rumah limasan, rumah tradisional daerah pegunungan warga Boyolali. Perlahan aku melangkah diiringi para sahabatku, menapak selangkah demi selangkah, dengan keberanian yang kupaksakan, karena jalan berbatu menurun tajam ditambah lagi siraman hujan deras dan kabut membuatnya semakin menyeramkan.
Memasuki rumah Pak Pur yang sudah diubah tata letaknya, rasa takut, kedinginan, dan gelisah menunggu sahabat-sahabat sirna seketika. Melihat wajah-wajah mungil, lucu, dan lugu-lugu membuat hatiku sedikit berdesir. Jika aku menjadi mereka, masih sanggupkan aku berwajah ceria, sumringah, tanpa beban? Anak-anak, selalu penuh dengan kegembiraan.
Anak-anak gunung yang kuat ini berkumpul di rumah Pak Pur 2 jam yang lalu, dengan tetap setia menanti kedatangan kami yang banyak molor karena hujan turun tiba-tiba. Kehausan mereka akan suasana belajar yang kondusif tampak di wajah-wajah mereka yang bersemangat dan antusias.
Bergabung dalam komunitas relawan Sahabat Merah Putih 14 bulan yang lalu membuat jiwaku terpanggil untuk terus mengabdi di daerah Selo dan sekitarnya. Kami tidak hanya membantu masyarakat sekitar Merapi dan Merbabu ketika ada bencana, tetapi kami membantu masyarakat setiap saat dibutuhkan, baik infrastruktur maupun sosial. Dan kali ini, jiwaku terpanggil untuk membantu anak-anak di Dusun Ngagrong dengan membuat sebuah sanggar belajar atas nama Sahabat Merah Putih. Mengadopsi konsep berpikir Indonesia Mengajar, yaitu mengabdi di daerah pelosok dalam menebarkan benih-benih positif dan optimisme kepada anak-anak yang mungkin mereka tidak pernah berpikir atau memiliki cita-cita seperti anak-anak sebagian di daerah perkotaan. Aku ditemani sahabat-sahabat relawan lokal yang hebat, gigih, tangguh, ikhlas, dan menyenangkan aku mencoba membangun serpihan-serpihan pendidikan yang terkoyak oleh ketiadaan sekolah di wilayah tersebut. Aku dan teman-teman memang belum mampu mendirikan sebuah sekolah di dusun tersebut, tetapi setidaknya kami memberi dorongan semangat belajar dan mengajak anak-anak untuk mulai memimpikan cita-cita mereka dan kemudian berusaha mewujudkannya.

Baru saja berakhir hujan disore ini,
Menyisakan keajaiban kilauan indahnya pelangi
(Ipang – Sahabat Kecil)

Dan memang, hujan baru saja reda ketika acara kami mulai. Sangat pas sekali dengan lagu yang kami putar di dalam rumah ini. Anak-anak sangat aktif terlibat dalam setiap permainan yang kami sajikan, mulai dari perkenalan sampai pada battle antar kelompok untuk menciptakan yel-yel dan masing-masing kelompok menyampaikan cita-cita mereka. Nama kelompoknya pun unik, sesuai hasil bumi kampung Ngagrong. Spontan, lahirlah nama kelompok Wortel, Bayam dan yang membuat kami terpingkal-pingkal adalah nama kelompok “KOL KEMBANG”.
Memang, tak perlu banyak “mikir” jadi anak-anak. Spontan, ngawur, tapi itulah yang menjadikannya seru.
Kami ingin anak-anak gunung ini menjadi anak yang tangguh dan tahan banting, dengan melatih keberanian mereka untuk mengungkapkan pendapat, konsentrasi, kreatif, dan memiliki mind set modern, bukan anak gunung yang udik dan ndeso. Lagi-lagi hatiku berdesir melihat energi anak-anak gunung ini. Apakah anak-anak kota akan bersemangat seperti anak-anak gunung ini jika aku dan sahabat-sahabatku membuat acara seperti ini? Ada haru yang tak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata.

Tak pernah terlewatkan dan tetap mengaguminya,
kesempatan seperti ini tak akan bisa dibeli
Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna sayang untuk mengakhirinya
(Ipang – Sahabat Kecil)

Ahhhhh… Kulepas jaket tebalku dan kunaikkan celanaku setinggi lutut, karena aku mulai gerah. Tubuhku membakar semua energi dan kebahagiaan di dalam diriku, sehingga rasanya aku tidak membutuhkan jaket atau apapun untuk membalut tubuh di dinginnya udara Gunung Merbabu. Aku terlalu bersemangat, terlalu bergairah, melihat semangat anak-anak gunung ini. Hangat rasanya berada di sekeliling anak-anak gunung ini, mereka anak-anak yang menyenangkan, ramah, dan saya rasa mereka hebat, sangat hebat.
Ketika aku membayangkan diriku sendiri menjadi anak-anak gunung ini, mungkin aku tidak akan pernah mau pergi ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 10 km dari dusun mereka. Dan aku akan terus mengatakan mereka hebat, karena mereka tetap pergi ke sekolah walaupun harus berjalan kaki melalui jalan berbatu, dan ditemani dengan hujan serta teriknya matahari khas pegunungan. Di sinilah peran kami membangkitkan semangat mereka, menciptakan mimpi-mimpi yang mungkin selama ini mereka pendam dan mencoba mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan
Takkan menyerah untuk hadapi hingga sedih tak mau datang lagi
(Ipang – Sahabat Kecil)

Tidak banyak anak-anak yang hadir hari itu, hanya 25 anak. Padahal menurut informasi yang kami dapatkan ada sekitar 50 anak usia sekolah dasar di Dusun Ngagrong. Tapi jumlah itu sudah cukup bagiku untuk sekedar tahu anak-anak seperti apa yang sedang kuhadapi. Dan aku bisa mengukur sebesar apa semangat mereka untuk menjadi anak yang memiliki nilai lebih.
Aku lebih senang menyebut mereka dengan sebutan “anak-anakku”, agar aku memiliki rasa memiliki dan tanggung jawab atas mereka. Di hari pertama pertemuan ini, aku mencoba mengenal dan memahami satu per satu anak-anakku. Nanda, anak laki-laki sedikit pemberontak, cerdas, pemberani, tapi sedikit temperamental. Dita, anak laki-laki yang murah senyum dan ramah. Sulis, si mungil yang bermimpi jadi pembalap. Dan satu lagi anakku yang spesial, Wanto.
Wanto berusia 14 tahun dan menderita keterbelakangan mental. Namun, tampak di wajahnya semangat belajar yang luar biasa. Ada keinginan kuat dalam dirinya untuk bisa diterima di lingkungannya. Tapi lingkungannya kurang memahami bagaimana seharusnya menyikapi anak seperti Wanto, sehingga Wanto menjadi minder. Aku berlari ke dapur untuk meminta piring kepada empunya rumah. Tiba-tiba ada seorang ibu yang mendekatiku dan menyapaku dengan sebutan “Ibu” kemudian bercerita tentang anaknya menderita keterbelakangan mental, tapi tidak menyebutkan nama anaknya. Pikiranku langsung tertuju pada Wanto. Aku hanya mengatakan akan mencoba sebisa dan semampuku membantu Wanto. Dan aku akan belajar.
Ke-25 anak tersebut kami bagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kami beri cutter, gunting, stirofoam, kertas, lem, kuas, dan cat air. Dengan benda-benda yang kami bagikan tersebut kami arahkan mereka untuk membuat tulisan SANGGAR BELAJAR SAHABAT MERAH PUTIH “BIMA KALANTAKA”, untuk kemudian menempelkannya pada kertas linen hitam yang kami tempelkan di dinding rumah Pak Pur.
Kami biarkan anak-anak berkreasi dan bekerja sama dengan anggota kelompoknya untuk menyelesaikan tugas yang kami berikan. Kembali hatiku berdesir, bahagia, dan kehangatan kembali menjalari sekujur tubuhku, saat melihat anak-anak gunung itu menempel potongan-potongan huruf pada kertas linen hitam. Aku seperti melihat anak-anak gunung itu sedang merangkai, kemudian menempelkan harapan dan mimpi mereka di sini, di sanggar belajar ini.
Dan rasa haru menghujani hatiku ketika semua potongan-potongan huruf itu sudah tertempel menjadi sebuah kalimat SANGGAR BELAJAR SAHABAT MERAH PUTIH “BIMA KALANTAKA”. Salah satu mimpi terbesarku sudah terwujud, walaupun baru seujung kuku. Membantu bangsa ini menjalankan amanah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”, membagikan ilmu yang kumiliki, dan membagikan pengalaman yang pernah kudapatkan untuk memotivasi mereka meraih apa yang mereka cita-citakan. Menyadarkan mereka untuk mencintai tempat mereka hidup tanpa mengabaikan bagaimana dunia luar. Seperti Kata Pak Anis Baswedan “Anak-anak Indonesia membutuhkan kompetensi kelas dunia untuk bersaing di lingkungan global. Tetapi, kompetensi kelas dunia saja tak cukup. Anak-anak muda Indonesia harus punya pemahaman empatik yang mendalam seperti akar rumput meresapi tanah tempatnya hidup”.
Tak lama, sahabat-sahabat yang membuat kami gelisah mulai berdatangan dalam kondisi basah kuyup. Pak Faishol, Pak Terry, Bu Terry, Senja, Lanang, Muslih, dan beberapa sahabat lainnya datang menyempurnakan kebahagiaanku. Ternyata respon datang dari banyak pihak. Aku yang mulanya takut menjalani ini sendirian, berubah pikiran. Aku tidak sendirian membangun semua ini, ada banyak orang-orang hebat dan penyayang yang akan terus membantu dan mendampingiku. Ada sahabat-sahabat dalam satu merah putih yang akan terus menemaniku membangun mimpi-mimpiku di negeri di atas kabut ini.
Bantuan keuangan, moral, dan buku-buku juga mengalir dari berbagai pihak. Pak Terry, Pak Faishol, dan Mas Dyke dari Kota Malang menyumbangkan sejumlah uang untuk operasional sanggar kami. Yayasan Amal Insani yang diwakili oleh Mas Anggoro juga menyumbangkan sejumlah buku dan banner, jauh-jauh dari Jakarta membawa buku-buku dalam bus menuju Solo dan kemudian mengangkutnya ke Dusun Ngagrong menggunakan motor, dan ini dilakukannya tanpa istirahat.














Betapa hatiku banjir saat itu, semua itu seperti dorongan semangat bagiku untuk terus mempertahankan kemajuan sanggar belajar ini. Walaupun banyak rintangan menghadang. Karena cita-citaku tidak berhenti hanya di sini. Masih ada misi yang sama bersama dengan sahabat-sahabat merah putihku untuk melakukannya di dusun lain.

COBAN PUTRI/COBAN GENDHENG, TLEKUNG, BATU


Namanya Bolangers, pasti tau aja tempat-tempat tersembunyi yang tidak banyak diketahui orang. Coban Putri ini dulunya bernama Coban Gendheng. Letaknya di bawah Coban Rais. Tetapi belum banyak diakses orang, karena medannya yang masih sulit dilalui. Denger-denger sih sedang proses untuk dijadikan salah satu tempat wisata di Batu.
Melalui jalan yang sempit dan sungai kami menuju ke Coban Putri. Sepanjang perjalanan kami tak henti-hentinya tersenyum sambil menghirup hawa segar yang dapat menyejukkan hati dan mata kami. Banyak tempat-tempat indah yang sudah kami kunjungi, tapi kami tidak pernah jengah ataupun bosan mencari dan menlihat-lihat hal yang serupa. Tak ada pengunjung lain selain pencari kayu yang ada di coban ini. Karena memang belum banyak yang tahu tempat ini. Yang punya waktu dan punya jiwa ‘mbolang’ jangan lupa kunjungi tempat ini, sebelum dibuka jadi tempat wisata.